19 December 2009

Mengulik Dapur Media Cetak Indonesia

presented by Annet Keller in Communication Management Padjadjaran University, Des 9th 2009

Anett Keller adalah seorang wartawan berkebangsaan Jerman dan sempat menerima beasiswa di Universitas Gadjah Mada. Anett melakukan penelitian tentang otonomi redaksi empat media cetak Indonesia, yaitu Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika. Hasil penelitian tersebut kemudian dibukukan olehnya yang bertajuk
Tantangan dari Dalam, Otonomi Rdaksi di 4 Media Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika.

Sistem media massa Indonesia mengalami proses perubahan yang sangat cepat sejak berakhirnya era diktatur militer pada tahun 1998. Sehubungan dengan proses demokratisasi ke arah liberalisasi media, sensor pemerintah dan pengawasan yang ketat terhadap pers telah dihapuskan dengan disahkannya Undang-Undang Pers tahun 1999. Namun kini masih sering timbul pertanyaan, apakah pers di Indonesia betul-betul mengalami kebebasan, ataukan ia kini menghadapi musuh kebebasan yang lain?


Anett Keller mengacu pada istilah dualisme kebebasan pers: Pertama sebagai suatu bentuk hak asasi yang dijamin Undang-undang Dasar (UUD) dan kedua yang penerapannya diwujudkan dalam bentuk perusahaan media yang umumnya swasta, yang menjadi pengemban hak asasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, Anett Keller menjelaskan bagaimana otonomi redaksi dalam media massa Indonesia dijalankan. Anett Keller menggambarkan struktur ekonomi dan cara kerja redaksi di empat harian pagi nasional Indonesia, yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan Republika.

Hasil yang diperoleh dari pengamatan di lapangan mengenai kerja redaksi dan wawancara kepada pihak terkait menunjukkan, bahwa para wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima interversi yang masif dari pemilik sehubungan dengan apa yang seharusnya ditulis atau diterbitkan, yaitu Media Indonesia dan Republika, dimana pemilik modal dominan tidak memiliki latar belakang jurnalisme. Sebaliknya, wartawan-wartawan yang paling independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Koran Tempo dinilai sebagai media yang memiliki otonomi redaksi dan isi berita paling independen. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pemilik modal yang dominan yangmenguasai Koran Tempo sedangkan Kompas menurut Annet Keller lebih suka bermain aman. Jakoeb Oetama menyebutnya Kompas mengadopsi gaya Jurnalisme Kepiting, yang berjalan maju namun mundur kembali.

Hasil Undian Babak 16 Besar (Knock Out) Liga Champions 2009/2010

NYON - Dua raksasa Inggris akan bertemu dengan dua raksasa Italia dalam babak 16 besar Liga Champions. Chelsea sudah harus baku hantam dengan Inter Milan sedangkan Manchester United bertarung melawan AC Milan.

Dua partai tersebut akan melengkapi enam partai lain di babak knock out sesuai hasil undian Liga Champions di kota Nyon, Swiss, Jumat (18/12/2009).

Di partai lain, Juara bertahan Barcelona akan menghadapi Vfb Stuttgart. Sedangkan raksasa Spanyol lainnya Real Madrid akan berduel dengan Lyon.

Satu-satunya wakil dari Rusia, CSKA Moscow akan berhadapan dengan Sevilla. Adapun wakil Inggris yang lainnya Arsenal akan menghadapi wakil dari Portugal, Porto FC.

Babak 16 besar akan digelar dari tanggal 16 s/d 26 Febuari 2010 untuk leg pertama. Sedangkan leg kedua akan digelar 9 s/d 17 Maret 2010.

Berikut Hasil Undian Babak 16 Besar Liga Champions 2009/2010:

  • VfB Stuttgart vs Barcelona
  • Olympiakos Piraeus vs Girondins Bordeaux
  • Inter Milan vs Chelsea
  • Bayern Munich vs Fiorentina
  • CSKA Moscow vs Sevilla
  • Olympique Lyon vs Real Madrid
  • Porto vs Arsenal
  • AC Milan vs Manchester United
Sumber: http://www.wartabola.com/18/12/2009/hasil-undian-babak-16-besar-liga-champions-20092010.html

23 October 2009

Dampak Sosiobudaya Ponsel Canggih

Semakin canggihnya fitur-fitur yang ada pada ponsel terkini tidak selalu membawa dampak yang positif bagi kehidupan kita, khususnya dalam proses komunikasi. Memang banyak hal yang dimudahkan dari adanya teknologi terbaru yang ada, namun kita juga tidak boleh tak acuh terhadap dampak negatif yang timbul dari penggunaan teknologi tersebut.

Kesenjangan Digital
Salah satu dampak yang paling terlihat adalah terjadinya kesenjangan digital antara negara maju dan negara berkembang, termasuk antara kota dan desa. Masyarakat yang lebih maju umumnya lebih terlibat dalam pemanfaatan teknologi digital sehingga memiliki akses informasi yang lebih baik, yang kemudian berimplikasi terhadap perekonomian.

Masyarakat merupakan pengguna teknologi informasi, bukan hanyalah objek pelengkap dari pertukaran informasi. Pola ini harus segera ditinggalkan jika menginginkan sebuah peradaban teknologi informasi yang merata.

Dari sini dapat timbul pertanyaan retoris, antara lain: Kalau saya tidak punya ponsel dan Anda punya, apakah antara saya dan Anda terjadi kesenjangan digital? Menurut Donny B.U, Koordinator ICT Watch, masalanya bukan terletak pada punya atau tidaknya, tetapi tersedianya alternatif akses menuju ke teknologi informasi tersebut.

Sekarang faktanya kita dikejar ketakutan akan semakin melebarnya kesenjangan digital antar elemen masyarakat. Kita berlomba-lomba mengadopsi teknologi terkini. Hal ini justru terkadang membuat kita memandang sebelah mata atau mengejek orang yang tidak mengadopsi teknologi tersebut. Kita kerapmemandang rendah derajat mereka yang tidak menggunakan ponsel terbaru.

Menurunnya Kesadaran Sosial
Semakin canggihnya ponsel yang ada, semakin menurunnya kesadaran sosial di masyarakat. Hal ini dikarenakan fitur-fitur di dalam ponsel sudah dianggap mampu memberikan bantuan atau solusi atas masalah yang dialami oleh kita. Kita seolah-olah tidak lagi membutuhkan keberadaan orang lain. Kini kita lebih dapat dikatakan ‘berjalan masing-masing’.

Bukan sebuah pemandangan yang mengherankan lagi apabila melihat orang berjalan dengan headset ditelinganya. Sadar atau tidak sadar, sedikit banyak orang tersebut telah mengurangi respons panca inderanya terhadap lingkungan sekitar. Orang tersebut akan terkesan lebih acuh terhadap keadaan sekelilingnya. Ia belum tentu mendengar teriakan seseorang yang membutuhkan pertolongan. Tak hanya itu, adanya teknologi GPS juga sedikit banyak mengurangi interaksi dengan orang lain. Dengan adanya sistem GPS dalam ponsel kita, kita tidak perlu lagi bertanya pada orang lain akan tempat asing yang akan kita tuju.

Teknologi Merebut Pendapatan Orang Lain
Bukanlah hal asing lagi melihat orang-orang mengabadikan momen-momen pentingnya melalui kamera yang ada pada ponselnya. Coba kita telaah lebih dalam lagi. Sebelum adanya teknologi kamera saku digital atau ponsel berkamera, kita masih senantiasa menggunakan jasa para fotografer kelas teri untuk mengabadikan berbagai momen dalam hidup kita.

Kini, dengan adanya teknologi tersebut kita sudah tidak lagi membutuhkan jasa mereka. Mereka seolah-olah terabaikan dan tersisihkan oleh perkembangan teknologi. Pendapatan mereka pun otomatis menurun, dan bukan mustahil mereka ‘banting stir’ mengais rejeki dengan berprofesi lain agar dapat bertahan hidup.

Tak hanya itu, para musisi dan industri rekaman juga sudah tidak lagi mengandalkan pendapatan dari penjualan kaset atau CD. Kita sudah terbiasa menikmati lagu dari format mp3, itu pun hasil dari CD bajakan.

10 October 2009

Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) PART I

1. Latar Belakang Teori Pembelajaran Sosial
Sebuah teori dalam bidang psikologis yang berguna dalam mengkaji dampak media massa adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory). Teori ini dipopulerkan oleh Albert Bandura dan dibantu oleh Richard Walter. Namun, pembelajaran sosial ini pernah diteliti oleh dua orang psikolog, yaitu: Neil Miller dan John Dollard pada tahun 1941.
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di sebuah kota kecil Mundare sebelah utara Alberta, Kanada. Dia menimba ilmu pada sebuah sekolah dasar kecil, yang menjadi satu dengan sekolah menengah, dengan sumber daya yang minimal sehingga angka kesuksesan belum tinggi. Setelah tamat sekolah menengah, dia bekerja pada sebuah lubang pengisian panas pada Alaska Highway di Yukon. Dia mendapat gelar Sarjana Psikologi dari University of British Columbia pada 1949. Kemuudian, ia melanjutkan studi di University of Iowa dan dianugrahi gelar Ph.D pada tahun 1952. Kini ia menjadi profesor psikologi di Stanford University.

Richard Walter berasal dari Wales. Dia menimba ilmu di Inggris pada Bristol dan Oxford. Sejak 1949 hingga 1953, ia menjadi dosen filsafat di Aucland University College, New Zealand. Ketertarikannya pada psikologi membuatnya melanjutkan studi di Stanford University dan mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1957 serta menjadi anak didik dari Albert Bandura. Pada tahun 1963, ia mendapat gelar profesor psikologi dari Universitas Waterloo. Sayangnya, pada tahun 1968 Walter meniggal secara tragis.
Dalam laporan hasil percobaan Miller dan Dollard, mereka mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning “(pembelajaran social). Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial sebaiknya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang.




Bersambung ke Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) PART II.....





Lulusan PTN Ngga Jaminan Cepat Kerja

Data resmi dari Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) bisa menjadi sebuah mimpi buruk bagi para pencari kerja. Menurut Depnaker, hingga pertengahan Maret 2007, jumlah pengangguran Indonesia mencapai angka 10,9 juta orang. Dan yang paling mengerikan lagi adalah 12,59% persennya adalah lulusan Sarjana. Anda bisa banyangkan, lulusan S-1 saja masih berkutik dengan surat lamaran dan mungkin masih terus menambah skill-nya melalui berbagai kursus. Bagaimana dengan lulusan sekolah menengah atas/kejuruan dan mereka yang putus sekolah?

Formasi lowongan pekerjaan di Indonesia, yang mirip piramida, menyulitkan para pencari kerja. Semakin tinggi strata pendidikan pencari kerja, semakin sedikit lowongan yang tersedia. Akibatnya banyak pencari kerja yang salah jurusan. Tanpa pikir panjang, mereka mengambil tawaran perekrut pada bidang yang tidak disukai. Seperti yang dikutip dalam majalah Tempo edisi 20 Mei 2007, menurut riset penyedia informasi kerja JobsDB Indonesia pada 2006, setidaknya 50 persen pencari kerja salah jurusan. Bahkan karena desakan ekonomi, banyak lulusan S-1 yang harus rela bekerja setara dengan lulusan diploma 3.

Hingga kini pendidikan tinggi memang masih diyakini sebagai jalan meraih masa depan yang cemerlang. Setiap tahunnya, ratusan ribu remaja Indonesia yang berijasah sekolah menengah atas ataupun kejuruan berebut tiket untuk kuliah di perguruan tinggi terkemuka, khususnya perguruan tinggi negeri (PTN). Bahkan tak jarang banyak yang menempuh jalan pintas untuk meraih hal itu. Mereka berharap dengan memiliki ijasah dari PTN dapat langsung meraih masa depan yang cemerlang.

Paradigma tersebut memang tidak salah. Namun, harus ada sedikit perubahan dari pola pikir yang konservatif itu. Menurut hasil survei Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) memang dari sepuluh kampus terlaris di Indonesia menurut kalangan dunia kerja ditempati oleh delapan PTN dan hanya dua tempat untuk perguruan tinggi swasta (PTS). Dengan urutan pertama diduduki oleh Universitas Indonesia (UI), kemudian berturut-turut diikuti oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Trisakti, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Katolik Atma Jaya, dan Universitas Diponegoro (Undip). Namun, hasil survei di atas bukan sebuah ukuran bagi kesuksesan perguruan tinggi tersebut mencetak sarjana berkualitas. Banyak perguruan tinggi lain yang tetap terbukti sukses mencetak sarjana yang berkualitas.

Hasil survei di atas secara tidak langsung mengatakan bahwa PTN lebih unggul dari PTS berdasarkan keminatan perusahaan terhadap lulusannya. Namun, tidak semua lulusan PTN mampu dengan cepat direkrut oleh perusahaa-perusahaan pencari pekerja. Menurut survei yang dilakukan PDAT sepanjang Desember 2006-Januari 2007, pengaruh nama besar perguruan tinggi bagi perekrutan pekerja hanya 13,84 persen, posisi teratas ditempati oleh tingginya indeks prestasi kumulatif (IPK) dengan 16,09 persen. Mereka tetap harus bersaing dengan lulusan lain dari PTS ataupun lulusan dari luar negeri.

Para lulusan PTN memang dianggap lebih di mata masyarakat daripada lulusan PTS. Oleh karena itu, banyak calon pekerja yang berpikir bahwa lulusan PTN akan cepat direkrut. Dengan bangga mereka mengandalkan ijasah PTN-nya. Ini berbeda dengan pemikiran perusahaan-perusahaan pencari pekerja. Mereka membutuhkan pekerja yang berkompeten. Para lulusan PTN belum tentu dapat bersaing dengan lulusan PTS. Banyak para lulusan PTS yang lebih kompeten daripada lulusan PTN. Jumlah PTS yang lebih banyak dari PTN memungkinkan hal tersebut terjadi. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab lulusan PTN lebih lama berkutik dengan surat lamaran pekerjaan, alias masih menjadi pengangguran.

Untuk menjadi lulusan yang berkualitas tidak hanya dengan tekun belajar. Mereka dapat aktif berorganisasi, mengasah kemampuan bahasa Inggris, mengikuti perkembangan informasi dan mempelajari aplikasi komputer. Untuk memenangkan persaingan, mereka harus mampu mengoptimalkan semua kemampuan yang ada dalam diri mereka masing-masing. Mereka tidak bisa mengandalkan ijasah PTN-nya saja.

Mereka yang hanya pintar dalam bidang akademis tentu akan kalah bersaing dengan mereka yang pintar dalam bidang akademis dan non-akademis. Mereka yang pintar dalam bidang akademis juga belum tentu bisa bersaing dengan mereka yang biasa-biasa saja dalam bidang akademis namun pintar dalam bidang non-akademis.

Dewasa ini, perusahaan-perusahaan membutuhkan pekerja-pekerja super. Mereka tidak melihat IPK sebagai tolok ukur satu-satunya ketika merekrut pekerja, walaupun menurut data di atas IPK menjadi gerbang pertama dalam menjaring pekerja.Mereka tentu lebih mengutamakan karakter pekerja. Pekerja harus mau bekerja keras, memiliki kepercayaan diri tinggi, mempunyai visi ke depan, bisa bekerja dalam tim, memiliki planning yang matang, mampu berpikir analitis, dan lain-lain.

31 August 2009

NAIF - LET'S GO


Bukankah..Kau yang slalu bilang, slalu bilang tuk tetap aku di sini.
Tak kah berarti? Bahwa yang kau bilang, yang kau bilang kita saling memiliki
Di mana Aku Di sini?




Para pemuda pemuda pemudi kita ajojing bersama




Berilah daku waktu tuk wujudkan semua. Janji ini untukmu ku takkan lupa.
Kuharap dikau sabar menunggu...




Pergi di hari minggu bersama pacar baru.
naik Vespa keliling kota sampai Binaria, Hatiku jadi gembira

19 April 2009

Slow speed

Slow speed di sini maksudnya memotret benda yang bergerak dengan kecepatan rana yang rendah sehingga menimbulkan efek tertentu. Misalkan memotert aliran air akan menimbulkan efek seperti gumpalan kapas atau memotret kendaraan pada malam hari akan menimbulkan efek sinar lampu yang terurai.

3 unsur yg selalu hrs di pahami
- Kecepatan dan bentuk gerak Subject
- Kondisi Cahaya
- Kecepatan Rana


Air Mengalir Sampai Jauh #1 (Ss: 1/2 s. F: 22)


Air Mengalir Sampai Jauh #2 (Ss: 0.8 s, F:22)


Efek cahaya dua foto di bawah ini dihasilkan dari pergerakan lampu
kendaraan pada malam hari yang di capture dengan speed rendah.

Can't Crossing (Ss: 0.8 s, F: 5)

Arsitektur: Jakarte Punya Gaye

Foto arsitektur merupakan foto-foto yang menampilkan kecantikan bangunan buatan manusia, seperti gedung, jembatan, dll.

Beberapa kelebihan foto arsitektur yang sudah saya rasakan adalah :
  1. Melatih mata kita melihat sudut pandang yang tidak biasa dilihat oleh orang lain. Kadang sudut pandang yang bagus diperoleh secara tidak terduga. Kuncinya jangan takut bereksperimen sambil jongkok atau rebahan sekalipun.
  2. Gedung atau objek arsitektur lain adalah objek yang tidak pernah mengeluh seperti model saya yang selalu minta break.
  3. Pencahayaan adalah tantangan tersendiri dan setiap hitungan menit bisa menghasilkan foto yang berbeda. Saya tidak membatasi jam berapa untuk mengabadikan objek, pokoknya setiap ada kesempatan harus dimanfaatkan. Tentu waktu antara pukul 6 sampai dengan 7 malam sangat ideal dengan cahaya langit yang berwarna biru ditambah dengan lampu2 penerangan yang mulai menyala, tapi kadang lalu lintas Jakarta sangat tidak bersahabat pada jam2 sibuk.
  4. Memotret arsitektur tidak memerlukan peralatan seabreg. Cukup kamera digital kelas poket. Peralatan lain mungkin hanya tripod dan shutter release, tapi percayalah dengan peralatan itu kita sudah bisa menghasilkan foto arsitektur sekelas Michael Parker.
  5. Yang punya kamera DSLR dengan lensa kit tidak usah minder. Lensa 18-55mm/F3.5-5.6 dari Canon atau 17-80/f.3.5-4.5 dari Nikon sudah sangat memadai. Syukur kalau anda punya lensa super wide seperti Canon 10-22mm/f3.5 EFS atau Nikon 12-24mm/f4G.

Jadi tunggu apa lagi? Segera ke jalan, kunjungi bangunan tua peninggalan Belanda (di Bandung gudangnya), jembatan, gedung perkantoran, museum, masjid, gereja, landmark kota, patung, dan masih banyak lagi. Yang anda perlukan adalah kejelian mata.

(Original from: http://mypotret.wordpress.com)




Memerah Di Kala Senja (Ss: 1/5 s, F: 5)



Lorong Tua (Ss: 1/100 s, F: 11)



Semburan Pelangi (Ss: 1/3 s, F: 3,4)

13 April 2009

Human Interest: Kota Tua

Ga selamanya foto human interest butuh seorang supermodel...Masih banyak model super yang bisa dieksplorasi...Jangan menyerah mencari moment...

"Istirahat Sejenak" (kolase 3 foto)
Walaupun usianya tak lagi muda, ia tetap membanting tulang
untuk dapat bertahan hidup di ibukota Jakarta yang (katanya)
lebih kejam dari ibu tiri..



"Jangan Mati Ontel-ku" (Ss: 1/80 s, F: 6,3)
Ia adalah salah satu pelestari sepeda tua di kota Jakarta.
Ia memanfaatkannya sebagai jasa pariwisata ojeg ontel.
Ia tak rela sepeda tuanya hancur dimakan usia, sebisa
mungkin ia perbaiki.



"Pedagang Intelek" (Ss: 1/25 s, F: 5,6)
Siapa bilang pedagang atau orang rendahan itu nggak pernah mengasah otak?

Makro: Jatinangor Ngga Kalah Gaye

Foto makro bisa diartikan sebagai teknik fotografi yang mengabadikan objek-objek (bahkan sanagat) kecil engan sangat detail, sehingga objek tersebut terlihat lebih besar. Ternyata foto makro itu ngga gampang...butuh kejelian, ketelatenan, dan teknik khusus...So, ga asal jepret aja...


Dragon Fly (Ss:1/160 s with Reverse Lens)



Spider (Ss:1/250 s with Reverse Lens)