10 October 2009

Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) PART I

1. Latar Belakang Teori Pembelajaran Sosial
Sebuah teori dalam bidang psikologis yang berguna dalam mengkaji dampak media massa adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory). Teori ini dipopulerkan oleh Albert Bandura dan dibantu oleh Richard Walter. Namun, pembelajaran sosial ini pernah diteliti oleh dua orang psikolog, yaitu: Neil Miller dan John Dollard pada tahun 1941.
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di sebuah kota kecil Mundare sebelah utara Alberta, Kanada. Dia menimba ilmu pada sebuah sekolah dasar kecil, yang menjadi satu dengan sekolah menengah, dengan sumber daya yang minimal sehingga angka kesuksesan belum tinggi. Setelah tamat sekolah menengah, dia bekerja pada sebuah lubang pengisian panas pada Alaska Highway di Yukon. Dia mendapat gelar Sarjana Psikologi dari University of British Columbia pada 1949. Kemuudian, ia melanjutkan studi di University of Iowa dan dianugrahi gelar Ph.D pada tahun 1952. Kini ia menjadi profesor psikologi di Stanford University.

Richard Walter berasal dari Wales. Dia menimba ilmu di Inggris pada Bristol dan Oxford. Sejak 1949 hingga 1953, ia menjadi dosen filsafat di Aucland University College, New Zealand. Ketertarikannya pada psikologi membuatnya melanjutkan studi di Stanford University dan mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1957 serta menjadi anak didik dari Albert Bandura. Pada tahun 1963, ia mendapat gelar profesor psikologi dari Universitas Waterloo. Sayangnya, pada tahun 1968 Walter meniggal secara tragis.
Dalam laporan hasil percobaan Miller dan Dollard, mereka mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning “(pembelajaran social). Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial sebaiknya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang.




Bersambung ke Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) PART II.....





Lulusan PTN Ngga Jaminan Cepat Kerja

Data resmi dari Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) bisa menjadi sebuah mimpi buruk bagi para pencari kerja. Menurut Depnaker, hingga pertengahan Maret 2007, jumlah pengangguran Indonesia mencapai angka 10,9 juta orang. Dan yang paling mengerikan lagi adalah 12,59% persennya adalah lulusan Sarjana. Anda bisa banyangkan, lulusan S-1 saja masih berkutik dengan surat lamaran dan mungkin masih terus menambah skill-nya melalui berbagai kursus. Bagaimana dengan lulusan sekolah menengah atas/kejuruan dan mereka yang putus sekolah?

Formasi lowongan pekerjaan di Indonesia, yang mirip piramida, menyulitkan para pencari kerja. Semakin tinggi strata pendidikan pencari kerja, semakin sedikit lowongan yang tersedia. Akibatnya banyak pencari kerja yang salah jurusan. Tanpa pikir panjang, mereka mengambil tawaran perekrut pada bidang yang tidak disukai. Seperti yang dikutip dalam majalah Tempo edisi 20 Mei 2007, menurut riset penyedia informasi kerja JobsDB Indonesia pada 2006, setidaknya 50 persen pencari kerja salah jurusan. Bahkan karena desakan ekonomi, banyak lulusan S-1 yang harus rela bekerja setara dengan lulusan diploma 3.

Hingga kini pendidikan tinggi memang masih diyakini sebagai jalan meraih masa depan yang cemerlang. Setiap tahunnya, ratusan ribu remaja Indonesia yang berijasah sekolah menengah atas ataupun kejuruan berebut tiket untuk kuliah di perguruan tinggi terkemuka, khususnya perguruan tinggi negeri (PTN). Bahkan tak jarang banyak yang menempuh jalan pintas untuk meraih hal itu. Mereka berharap dengan memiliki ijasah dari PTN dapat langsung meraih masa depan yang cemerlang.

Paradigma tersebut memang tidak salah. Namun, harus ada sedikit perubahan dari pola pikir yang konservatif itu. Menurut hasil survei Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) memang dari sepuluh kampus terlaris di Indonesia menurut kalangan dunia kerja ditempati oleh delapan PTN dan hanya dua tempat untuk perguruan tinggi swasta (PTS). Dengan urutan pertama diduduki oleh Universitas Indonesia (UI), kemudian berturut-turut diikuti oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Trisakti, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Katolik Atma Jaya, dan Universitas Diponegoro (Undip). Namun, hasil survei di atas bukan sebuah ukuran bagi kesuksesan perguruan tinggi tersebut mencetak sarjana berkualitas. Banyak perguruan tinggi lain yang tetap terbukti sukses mencetak sarjana yang berkualitas.

Hasil survei di atas secara tidak langsung mengatakan bahwa PTN lebih unggul dari PTS berdasarkan keminatan perusahaan terhadap lulusannya. Namun, tidak semua lulusan PTN mampu dengan cepat direkrut oleh perusahaa-perusahaan pencari pekerja. Menurut survei yang dilakukan PDAT sepanjang Desember 2006-Januari 2007, pengaruh nama besar perguruan tinggi bagi perekrutan pekerja hanya 13,84 persen, posisi teratas ditempati oleh tingginya indeks prestasi kumulatif (IPK) dengan 16,09 persen. Mereka tetap harus bersaing dengan lulusan lain dari PTS ataupun lulusan dari luar negeri.

Para lulusan PTN memang dianggap lebih di mata masyarakat daripada lulusan PTS. Oleh karena itu, banyak calon pekerja yang berpikir bahwa lulusan PTN akan cepat direkrut. Dengan bangga mereka mengandalkan ijasah PTN-nya. Ini berbeda dengan pemikiran perusahaan-perusahaan pencari pekerja. Mereka membutuhkan pekerja yang berkompeten. Para lulusan PTN belum tentu dapat bersaing dengan lulusan PTS. Banyak para lulusan PTS yang lebih kompeten daripada lulusan PTN. Jumlah PTS yang lebih banyak dari PTN memungkinkan hal tersebut terjadi. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab lulusan PTN lebih lama berkutik dengan surat lamaran pekerjaan, alias masih menjadi pengangguran.

Untuk menjadi lulusan yang berkualitas tidak hanya dengan tekun belajar. Mereka dapat aktif berorganisasi, mengasah kemampuan bahasa Inggris, mengikuti perkembangan informasi dan mempelajari aplikasi komputer. Untuk memenangkan persaingan, mereka harus mampu mengoptimalkan semua kemampuan yang ada dalam diri mereka masing-masing. Mereka tidak bisa mengandalkan ijasah PTN-nya saja.

Mereka yang hanya pintar dalam bidang akademis tentu akan kalah bersaing dengan mereka yang pintar dalam bidang akademis dan non-akademis. Mereka yang pintar dalam bidang akademis juga belum tentu bisa bersaing dengan mereka yang biasa-biasa saja dalam bidang akademis namun pintar dalam bidang non-akademis.

Dewasa ini, perusahaan-perusahaan membutuhkan pekerja-pekerja super. Mereka tidak melihat IPK sebagai tolok ukur satu-satunya ketika merekrut pekerja, walaupun menurut data di atas IPK menjadi gerbang pertama dalam menjaring pekerja.Mereka tentu lebih mengutamakan karakter pekerja. Pekerja harus mau bekerja keras, memiliki kepercayaan diri tinggi, mempunyai visi ke depan, bisa bekerja dalam tim, memiliki planning yang matang, mampu berpikir analitis, dan lain-lain.